Kamis, 04 November 2010

Makalah usul fiqih tentang hukum

RANGKUMAN USHUL FIQH

TENTANG HUKUM

A. Ruang Lingkup Hukum

Pembahasan hukum dalam ilmu ushul fiqh ada empat, yaitu :

a. Hakim, yaitu dzat yang mengeluarkan hukum

b. Hukum, yaitu sesuatu yang keluar dari hakim yang menunjukkan atas kehendaknya pada perbuatan mukallaf

c. Mahkum Fiqh, yaitu perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan hukum

d. Mahkum Alaih, yaitu mukallaf sebagai pelaku perbuatan yang berkaitan dengan hukum

B. Pembagian Hukum

Dalam hal ini akan kami bahas tentang :

1. Definisi hukum

Hukum Syara’ menurut istilah para ahli ilmu ushul fiqh adalah khithab syar’i yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik dalam bentuk tuntutan, pilihan atau ketetapan.

2. Macam-macam hukum

Ulama ushul fiqh memberi nama istilah terhadap hukum yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf dari segi tuntutan dan pilihan sebagai hukum taklifi dan menyebut hukum yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf dari segi penetapan sebagai hukum wadh’i. Oleh karena inilah, maka mereka menetapkan bahwasanya hukum syara’ terbagi kepada dua bagian, yaitu :

a. Hukum Taklifi

Adalah sesuatu yang menuntut suatu pengerjaan dari mukallaf, atau menuntut untuk berbuat, atau memberikan pilihan kepadanya antara melakukan dan meninggalkannya.

b. Hukum Wadh’i

Adalah sesuatu yang menuntut penetapan sesuatu sebagai sebab bagi sesuatu yang lain, atau menjadi syarat baginya atau menjadi penghalang baginya.

Dari pengertian tersebut, bahwa perbedaan antara hukum taklifi dan hukum wadh’i dapat dilihat dari dua segi, yaitu:

· Bahwasanya hukum taklifi itu dimaksudkan untuk menuntut perbuatan mukallaf atau meninggalkan perbuatan, atau memberikan pilihan kepadanya antara melakukan sesuatu atau meninggalkannya. Sedangkan hukum wadh’i , maka ia tidak dimaksudkan sebagai pemberian pilihan, akan tetapi ia hanyalah dimaksudkan untuk menjelaskan sesuatu ini adalah sebab bagi musabbab atau bahwasanya ini adalah penghalang terhadap hukum ini.

· Bahwasanya sesuatu yang dituntut untuk dikerjakan atau untuk ditinggalkan, atau diberikan pilihan antara mengerjakannya dan meninggalkannya sesuai dengan tuntutan hukum taklifi, maka ia haruslah dalam jangkauan kemempuan si mukallaf. Adapun sesuatu yang ditetapkan sebagai sebab atau syarat atau penghalang, maka ia terkadang merupakan hal yang dalam kemampuan si mukallaf, dimana sekiranya ia mengerjakannya, maka muncullah pengaruhnya, dan kadang kala ia merupakan hal yang berada di luar kekuasaan si mukallaf, di mana apabila hal itu ada, maka pengaruhnya akan timbul.

3. Pembagian tiap macam hukum

a. Pembagian hukum taklifi

Hukum Taklifi ini terbagi dalam lima bagian, yaitu :

1. Ijab (mewajibkan)

Apabila hukum taklifi itu menghendaki tuntutan mengerjakan, maka jika tuntutannya itu pada segi pengharusan dan penetapan. Konsekwensinya adalah wujub (kewajiban) dan yang dituntut untuk dikerjakan ialah wajib.

2. Nadb

Apabila tuntutannya terhadapnya tidak pada segi pengharusan dan penetapan. Konsekwensinya adalah nadb, sedang yang dituntut untuk dikerjakan adalah mandub.

3. Tahrim

Apabila hukum taklifi tersebut menuntut untuk meninggalkan perbuatan dan jika tuntutannya bersifat mengharuskan dan menetapkan. Konsekwensi pengharaman adalah humrah dan yang dituntut untuk ditinggalkan pekerjaannya adalah muharram.

4. Karahah

Jika tuntutannya tidak bersifat mengaharuskan dan menetapkan untuk ditinggalkan. Konsekwensinya adalah karahah dan yang dituntut untuk ditinggalkan pekerjaannya adalah makruh.

5. Ibahah

Apabila hukum taklifitersebut menuntut pemberian pilihan kepada mukallaf antara mengerjakan sesuatu dan meninggalkannya. Konsekwensinya adalah ibahah dan perbuatan yang disuruh untuk memilih antara melakukan dan meninggalkan adalah mubah.

Dengan demikian, sesuatu yang dituntut untuk dikerjakan ada dua macam :

· Wajib

· Mandub

Sedangkan sesuatu yang dituntut untuk ditinggalkan dari mengerjakannya ada dua macam, yaitu:

· Muharram

· Makruh

Sementara sesuatu yang disuruh memilih antara melakukan dan meninggalkannya adalah macam yang kelima yaitu mubah.

b. Pembagian hukum Wadh’i

Hukum Wadh’i terbagi dalam lima bagian, yaitu :

1. Sebab

Ialah sesuatu yang dijadikan oleh syar’i sebagai tanda atas musababnya dan mengkaitkan keberadaan musabab dengan keberadaannya dan ketiadaan musabab dengan ketiadaannya. Jadi, dari keberadaan sebab, maka ditetapkan adanya musabab dan dari ketiadaan sebab itu ditetapkan ketiadaannya.

Macam-macam sebab :

· Sebab terkadang menjadi sebab bagi hukum taklifi, seperti waktu yang dijadikan oleh syar’i sebagai sebab untuk mewajibkan mendirikan sholat.

· Sebab menjadi sebab bagi penetapan kepemilikan, atau penghalalan, atau menghilangkan kedua-duanya.

· Sebab merupakan suatu perbuatan mukallaf yang dikuasainya.

2. Syarat

Ialah sesuatu yang keberadaan suatu hukum tergantung kepada keberadaan sesuatu itu, dan dari ketiadaan sesuatu itu diperoleh ketetapan ketiadaan hukum tersebut. Yang dimaksud adalah keberadaannya secara syara’ yang menimbulkan efeknya.

3. Mani’

Adalah sesuatu yang keberadaannya menetapkan ketiadaan hukum atau batalnya sebab. Atau dengan kata lain dalam istilah para ahli ilmu ushul fiqh adalah sesuatu hal yang ditemukan bersama keberadaan sebab dan terpenuhinya syarat-syaratnya, namun ia mencegah timbulnya musabab pada sebabnya.

4. Rukhshah dan ‘Azimah

a. Definisi Rukhshah dan ‘Azimah

Rukhshah ialah sesuatu yang disyariatkan oleh Allah dari berbagai hukum untuk maksud memberikan keringanan kepada mukallaf dalam berbagai situasi dan kondisi khusus yang menghendaki keringanan ini. Atau rukhshah ialah sesuatu yang disyariatkan karna suatu alasan yang memberatkan dalam berbagai keadaan khusus, atau ia adalah pembolehan sesuatu yang terlarang dengan suatu dalil, disertai adanya dalil larangan.

Adapun 'arimah ialah : Hukum-hukum umum yang disyariatkan sejak semula oleh Allah, yang tidak tertentu pada satu keadaan saja bukan keadaan lainnya, bukan pula khusus seorang mukallaf, dan tidak mukallaf lainnya

b. Macam-macam Rukhshah

· Pembolehan hal-hal yang dilarang dalam keadaan dharurat atau kebutuhan.

· Pembolehan meninggalkan wajib, apabila ada udzur (alasan) yang membuat pelaksanaannya memberatkan pada mukallaf.

· Pensahan sebagian akad yang bersifat pengecualian, yang tidak memenuhi beberapa syarat umum bagi terjadinya akad dan keabsahannya.

· penghapusan berhagai hu­kum yang telah diangkat Allah dari kita, dan termasuk pentaklifan yang berat kepada ummat-ummat sebelum kita.

Ulama Hanafiyyah membagi rukhshah kepada dua macam, yaitu :

1). Rukhshah tarfih (peringanan)

2). Rukhshah isqath (pengguguran).

Bahwasanya rukhshah tarfih, hukum azimah masih tetap bersamanya dan dalilnya juga masih tetap, akan tetapi diberikan rukhshah untuk meninggalkannya sebagai suatu peringanan pada mukallaf.

Adapun Rukhsha Isqath (pengguguran), maka hukum azimah tidak lagi tetap bersamanya, bahkan sesungguhnya keadaan yang mengharuskan peringatan telah menggugurkan hukum azimah, dan hukum yang disyariatkan adalah Rukhshah.

5. Sah dan Batal

Pengertian sahnya menurut syara' ialah : timbulnya herhagai konse­kuensinya secara syar'iyyah atas perbuatan itu. Jika sesuatu yang dilakukan oleh mukallaf merupakan perhuatan yang wajib, seperti shalat, puasa, zakat, dan hajji; sedangkan pelaksanaan mukallaf tersebut memenuhi semua rukun dan syaratnya, maka kewajiban telah gugur darinya, tanggungannya dari kewajiban itu telah lepas, dan ia tidak mendapat hukuman di dunia, serta mendapatkan pahala di akhirat.

Sedangkan pengertian ketidak-sahannya ialah tidak timhulnya konsekwensinya yang bersifat syara'. Jika sesuatu yang dikerjakannya adalah wa­jib, maka ia tidak gugur darinya dan tanggungannya tidak terbebas darinya. Dan jika ia merupakan sebab syar’i, maka hukumnya tidak timbul darinya, dan jika ia adalah syarat, maka yang disyaratkan tidak terwujud. Hal itu disebabkan bahwasanya Syari' hanyalah menimhulkan berbagai konsekuensi terhadap perbuatan, sebah-sebab, dan syarat-syarat yang terwujud sebagaimana dituntut dan disyariatkannya. Apabila tidak demikian, maka ia tidak diakui menurut syara'.

Dengan demikian, pembagian hanyalah dua, maksudnya, bahwasany perbuatan atau akad atau tasharruf (pengelolaan) itu ada kalanya : shahih yang konsekuensinya timbul padanya, dan ada kalanya tidak shahih, yang konsekuensi syara'nya tidak timbul padanya. Dan ini adalah pendapat jumhu ulama.

Adapun berbagai akad dan tashatruf (pengelolaan), maka pembagiannya adalah tiga, karena akad yang tidak shahih terbagi kepada dua, yaitu :

a. bathil.

b.fasid.

Jika kerusakan pada esensi akad, maksudnya pada salah satu rukunnya, sebagaimana kerusakan itu terjadi pada shighat akad, atau pada kedua belah pihak yang mengadakan akad, atau pada barang yang diakadkan, maka akad tersebut batil, yang konsekuensi syara'nya tidak timbul padanya. Dan jika kerusakan tersebut terjadi pada salah satu sifat akad, sebagaimana kerusakan itu terjadi pada syarat yang berada di luar esensi akad dan rukun-rukunnya, maka akad tersebut adalah fasid, dan sebagian dari konsekuensinya timbul pada akad itu

C. Al-Hakim

Di kalangan ulama umat islam tidak ada perselisihan pendapat mengenai, bahwasanya sumber hukum syar’iyah bagi seluruh perbuatan orang-orang mukallaf adalah Allah SWT, baik hukumnya mengenai perbuatan mukallaf itu telah diwahyukan kepada Rasul-Nya ataupun Dia memberi petunjuk kepada para Mujtahid untuk mengetahui hukumnya pada perbuatan mukallaf dengan perantaraan dalil-dalil dan tanda-tanda yang telah disyariatkannya untuk mengistimbatkan hukum-hukumnya. Oleh karena inilah, ada kesepakatan hukum-hukumnya.

Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT, dalam surat Al-An’am ayat 57 :

اِنِ الْحُكْمُ اِلاَّ للهِ . يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِيْنَ

Artinya : ”Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah, Dia menerangkan sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang baik”.

D. Mahkum Alaih

Adalah mukallaf yang dengan perbuatannyalah hukum syar’I berkaitan.

Untuk syahnya pentaklifan mukallaf menurut syara’ disyaratkan dua syarat pada mukallaf, yaitu:

1. Bahwa ia haruslah mampu memahami dalil pentaklifan,sebagaimana ia mampu untuk memahami berbagai nash perundang-undangan yang ditaklifkan padanya dalam al-qur’an dan sunah, baik dengan sendirinya atau atau dengan perantaraan. Karena sesungguhnya orang yang tidak sanggup memahami dalil pentaklifan, maka ia tidak mungkin untuk melaksanakan sesuatu yang ditaklifkan padanya, dan tidak bisa pula mengarahkan maksudnya kepadanya.

2. Mukallaf haruslah layak untuk dikenai taklif Ahliyyah, maknanya dalam bahasa arab adalah kelayakan. Adapun ahliyyah menurut istilah ulama ushul fiqh terbagi kepada dua bagian, yaitu :

a. Ahliyyatul Wujub

Manusia ditinjau dari hubungannya dengan Ahliyyatul Wujub mempunyai dua keadaan saja, yaitu :

· Terkadang ia mempunyai ahliyyatul wujub yang kurang, yaitu apabila ia layak memperoleh hak, akan tetapi tidak layak untuk dibebani kewajiban, ataupun sebaliknya.

· Ada kalanya ia mempunyai ahliyyatul wujub yang sempurna, apabila ia layak untuk memperoleh berbagai hak dan dibebani berbagai kewajiban.

b. Ahliyyatul Ada’

Manusia ditinjau dari hubungannya dengan ahliyyatul ada’ mempunyai tiga keadaan, yaitu :

· Terkadang ia sama sekali tidak mempunyai ahliyyatul ada’, atau sama sekali sepi daripadanya. Inilah anak kecil pada masa kanak-kanaknya dan orang gila dalam usia berapapun.

· Ada kalanya ia adalah kurang ahliyyah ada’nya, yaitu orang yang telah pintar tapi belum baligh. Ini berkenaan dengan anak kecil pada perioda tamyiz sebelum baligh, dan berkenaan pula pada orang yang kurang waras otaknya adalah orang yang cacat akalnya, bukan tidak berakal.

· Ada kalanya ia mempunyai ahliyyatul ada’ yang sempurna, yaitu orang yang telah mencapai akil baligh. Ahliyyah ada’ yang sempurna terwujud dengan kebalighan manusia dalam keadaan berakal.

Ahliyyatul ada’ pada manusia tidaklah tetap pada saat masih berupa janin sebelum ia lahir, tidak pula ketika ia kanak-kanak yang belum sampai umur tujuh tahun, dan bahwasanya semenjak usia mumayyiz maka ia telah ketetapan ahliyyah ada’ yang kurang. Oleh karena inilah maka sebagian tasyarufnya sah dan sebagian lainnya tidak sah, serta sebagian lagi tergantung pada izin dan rekomendasi walinya. Selanjutnya bahwasanya manusia semenjak usia balighnya, ia memperoleh ketetapan ahliyyah ada’ yang sempurna. Hanya saja ahliyyah ini terkadang terhalang oleh beberapa pengahalang, diantaranya :

· Penghalang samawi, yang tidak ada usaha manusia dan ikhtiarnya padanya, seperti gila, agak kurang waras akalnya dan lupa.

· Penghalang kasbi, yaitu yang terjadi karena usaha dan ikhtiar manusia, seperti mabuk, bodoh dan hutang.

Beberapa penghalang yang menghalangi ahliyyah ada’ ini,diantaranya ada yang menghalangi manusia, kemudian menghilangkan ahliyyah ada’nya sama sekali, seperti gila, tidur, pingsan.masing-masing dari mereka tidak mempunyai ahliyyah ada’ sama sekali. Tasharrufnya tidak dapat menimbulkan konsekwensi hukum syar’iyyah, sedangkan sesuatu yang wajib atas orang gila adalah dalam kaitannya dengan ahliyyah wujubnya, karena kewajiban keharta-bendaan yang harus dibayarkan walinya untuknya, sementara sesuatu yang wajib atas orang tidur dan orang yang pingsan adalah dalam kaitannya dengan ahliyyah wujubnya, baik berupa kewajiban keharta-bendaan maupun bersifat badani, yanh harus ditunaikan oleh masing-masing dari keduanya sesudah ia sadar atau waras.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar